Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan
kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di
dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing
(biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan
penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk
mengadu kerbau.
Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit,
Nagarakretagama tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa
sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga)
itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi
dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan
Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" .... Beberapa
ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4
(...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi
mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang
dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai
Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini
dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada
hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai
pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena
itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu
sendiri
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama
Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung
yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk
melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat,
terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta
Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan
Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan
pedalaman Minangkabau.
Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini
dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama
pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan
Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan
dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem
pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari
3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji
Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam
penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul
tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan
puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran
bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an.
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang
bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan
masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan
kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan
bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga
yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu
dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai
macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa
Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata
Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah
ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi.
Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya
menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga
menggunakan Bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas.
Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa
Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa
Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang
dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah
digunakan untuk pengajaran agama Islam.
Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting
dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal
dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan
bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka,
orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian
bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam
atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta
adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan
merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun
ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya
tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya
sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan
lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni
bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain
itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai.
Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam
randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni
berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan),
indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih
mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme.
Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan
harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Pacuan kuda merupakan olah raga berkuda yang telah
lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan
oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada
kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional
lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang
antara lain lomba Pacu jawi dan Pacu itik.
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang,
yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku
tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi
panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu,
dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas,
menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap
ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah
gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan
sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang
tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta
anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut
yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum
belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari
komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga
berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua
kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus
nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan
salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa
peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas
rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa
disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan
maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai
basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan
manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin
bersanding di pelaminan.
Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka
masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh
Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal
dengan nama Masakan Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan
etnik Minang secara umum.
Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat
Minang, pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam
daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar
oleh CNN International.
Opini
Menurut saya suku minagkabau sangatlah unik karena memiliki berbagai macam ke-khas-an dari pada suku-suku yang lainnya, orang minang, sebutan banyak kalangan menyebut orang-orang yang berasal dari suku minangkabau atau padang. orang minang sangat menjujung tinggi nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-harinya, adat-istiadat yang begitu kental tidak terpengaruh terhadap perkembangan jaman yang semakin modern.
Suku minang memiliki makanan khas yang sangat terkenal yaitu rendang. rendang adalah olahan daging sapi yang di racik dengan berbagai macam rempah-rempah yang khas dan tentunya masakan padang tidak lepas dari bahan baku santan. Hampir semua orang suka rendang karena masakan ini termasuk 50 masakan terlezat sedunia.
Hampir di setiap kota-kota besar kita dapat menjumpai orang minang hal ini disebabkan kebiasaan orang-orang minang dalam merantau jauh dari kampung halaman dengan tujuan mendapatkan sukses di ranah seberang. di perantauan orang minang tidak lepas dari bahasa daerahnya jika saling jumpa dengan sesama orang minang, diperantauan silaturahmi adalah hal nomor satu yang tidak pernah dilupakan.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar